GEREJA KYAI SADRACH


Pada tahun 1841 di desa Dukuhseti wilayah Kabupaten Kediri Jawa Timur lahir seorang bayi yang diberi nama Radin. Anak tersebut hidup terlantar karena ketika ia masih kecil telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil ia hidup mengembara mengadu nasibnya dengan meminta-minta belas kasihan dari sesama umat yang dengan rela menaruh belas kasihan padanya. Betapapun penderitaan yang ia pikul, ia terima dengan keikhlasan hati karena berkeyakinan bahwa penderitaan semacam itu pastilah tidak akan menimpa dirinya untuk selama-lamanya.
Pada suatu saat, datanglah seorang Guru pengajar Agama Islam yang menaruh belas kasihan kepadanya untuk menolongnya dan dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Dan setiap hari diajarnya pengetahuan Agama Islam. Sebagai murid dalam ilmu Agama Islam ia tergolong anak yang paling pandai, dan oleh sang guru Radin diberi nama tambahan sehingga lengkapnya Radin Abbas. Melihat daya kemampuannya, maka Radin Abbas kemudian dipondokkan di Pondok Pesantren Jombang. Pada perjalanannya dari Demak ke Jombang ditempuhnya dengan perjalanan kaki saja. Karena daya tangkap dalam menerima pelajaran, dalam sebentar mendengar pelajaran dengan mudah memahami maksudnya.
Dalam mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren Jombang itu, ia sering pergi ke Mojowarno untuk mengikuti pelajaran Agama Kristen yang diajarkan oleh DS. JELLESMA. Minatnya sangat tertarik dengan pelajaran Kristen melalui Injil. Radin Abbas berhati keras dan progresif. Ia menyatakan menjadi murid Ds. Jellesma untuk mendalami pengetahuan Agama Kristen. Oleh karena ia ingin mencari kebenaran Allah, dari Pondok Pesantren Jombang ia memasuki Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Tak lama kemudian Radin Abbas pindah ke Semarang dan berguru kepada seorang pendeta Kristen Ds. Hoczoo. Setiap hari Minggu ia rajin pergi ke gereja. Di Semarang ia berkenalan dengan seorang Kyai Kristen bernama Ibrahim Tunggul Wulung. Ia tertarik atas pelajarannya dan akhirnya menyatakan berguru kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan terus menyatakan sebagai seorang yang telah memeluk agama Kristen.
Dalam tahun 1865 Radin Abbas berkenalan dengan Mr. Anthing seorang petugas pengadilan di Semarang. Oleh karena kariernya, Mr. Anthing diangkat sebagai Wakil Kejaksaan Tinggi di Batavia. Dan disamping tugasnya dalam dinas governmentnya, Mr. Anthing juga mendirikan pendidikan Calon Penyebar Agama Kristen. Pada suatu waktu Radin Abbas dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung pergi ke Batavia. Oleh Mr. Anthing, Radin Abbas diterima sebagai anak buahnya dan ia menerima pembaptisan tanggal 14 April 1867 dengan nama baptisnya Sadrach. Sehingga nama lengkapnya menjadi Sadrach Radin Abbas, yang waktu itu berusia 26 tahun.
Dengan seijin Mr. Anthing, Sadrach Radin Abbas akan kembali ke Jawa Tengah. Perjalanannya akan ia tempuh dengan berjalan kaki saja : Batavia – Bandung – Cirebon – Tegal – Semarang – Bendo. Disetiap kota yang ia lalui, ia mengunjungi gereja-gereja Kristen yang ada. Setelah dapat bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, ia melanjutkan perjalanannya ke Jawa Timur : Surabaya – Mojowarno.
Mendengar kabar bahwa di Purworejo telah berdiri Pekabaran Injil yang dipimpin oleh Ny. Philips di Tuksongo; maka rombongan Sadrach pergi dan datang di Tuksongo Purworejo untuk menyaksikan tentang adanya berita yang didengar. Ternyata beritanya adalah benar dan nyata. Akhirnya Sadrach menetap di Purworejo dan membantu tugas Ny. Philips. Dimana atau di daerah mana banyak orang yang menentang Kristen, disitulah tugas Sadrach.
Cara Sadrach memperluas pengikutnya dengan cara ending sistim, door to door didatangi secara langsung berganti-ganti rumah. Mengadakan kebaktian secara bersama dilaksanakannya pada tahun 1871 (berdiri gereja) tempat kebaktiannya dipindahkan di Dukuh Karangjoso Desa Langenrejo Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo. Dan itulah didirikan rumah kebaktian di Karangjoso.
Sadrach dalam menyampaikan Pekabaran Injil secara khas Jawa dengan segala bentuk dan methodanya sendiri. Tugas Sadrach dibantu oleh Ny. Philips dalam menterjemahkan dari Bahasa Asing ke Bahasa Jawa.
Sadrach memperistri putri dari pemilik Rumah Peribadatan di Karangjoso. Karena dalam perkawinannya itu tidak dikaruniai keturunan, mereka mengangkat anak yang bernama Yothan putra dari Markus. Oleh karena usaha-usahanya dalam ikut Penyebaran Agama/Injil, maka nama Sadrach tercantum dalam Daftar Anggota Gereja Belanda. Oleh Sadrach para muridnya ditugaskan secara terpencar di seluruh Jawa Tengah untuk penyiaran Agama Kristen/Injil. Pada suatu ketika Sadrach bersama Ny. Philips mengadakan peninjauan ke pelosok, untuk melihat tentang penyebaran Injil yang biayanya dari Gereja Belanda. Akhirnya karena sakit Ny. Philips meninggal dunia 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun. Sejak itu Sadrach bertekad akan bekerja keras untuk melanjutkan akan kelangsungan Kristen Jawa. Ia menyebut dirinya Suropranoto yang berarti Berani Mengatur Sendiri. Dan ia menamakan Kristen Jawa Mardika.
Setiap hari Selasa Kliwon, di Karangjoso merupakan hari Pertemuan Besar. Pada waktu berjangkitnya wabah cacar, orang-orang disekitar gereja Karangjoso banyak yang tidak mencacarkan dirinya, karena tidak setuju adanya pencacaran dipaksakan. Akhirnya diketahuilah oleh Government dan Gereja Karangjoso ditutup dan rumah Sadrach digeledah karena diperkirakan bahwa ia akan memberontak terhadap Government tahun 1882.
Peristiwa yang disebut Jumat Wage adalah waktu peristiwa Sadrach diasingkan. Sedang sebagai Pemimpin Kebaktian dilakukan oleh Ds. Bieger dari Purworejo. Atas pengumuman Residen, Sadrach agar dikurung di rumah Ds. Bieger. Tanggal 10 Juni 1882 Sadrach terbebas dan kembali memimpin kebaktian di Gereja Kristen Jawa di Karangjoso. Tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach meninggal dunia. Sepeninggal Sadrach para jamaah dipimpin oleh Yothan dan tentang kegerejaan diserahkan kepada Zending pada 1 Mei 1933. Para peserta yang setia kepada kerasulan menyingkir ke desa sebelah yaitu Desa Ketug, Kec. Butuh, Kab. Purworejo.