Masjid Agung Purworejo

Sejak RAA Cokronegoro 1 menjabat sebagai Bupati Purworejo, pertama kali yang dibangun adalah Masjid Agung Purworejo atau Masjid Jami’ yang sekarang bernama Masjid Darul Muttaqin. Alasan pembangunan Masjid Agung karena RAA Cokronegoro menyadari  jika mayoritas masyarakat Purworejo adalah kaum Muslim.


Masjid Agung Darul Muttaqin tempo dolo

Pembanguan Masjid Agung bersamaan dengan pembuatan alun-alun Purworejo yang luasnya enam hektar. Bersamaan itu pula rumah Katemenggungan Tanggung (Brengkelan) yang sebelumnya di sebelah timur Sungai Bogowonto dipindah ke sebelah utara alun-alun Purworejo. Di tengah alun-alun ditanam dua pohon beringin yang bibitnya diambil dari Kraton Yogyakarta. Di sebelah selatan alun-alun saat itu juga didirikan Kantor Residen Bagelen.

Untuk menghubungkan Pendopo Kabupaten, Kantor Karesiden Bagelen dan Masjid Agung, dibangun pula jalan di seputar alun-alun. Masjid Agung atau Masjid Darul Muttaqim berdiri di atas tanah seluas 8.825 meter persegi. Bangunan utama 21 X 21 meter, sayap kiri kanan 6 X 21 meter, serambi 25 X 21 meter. Hal ini sesuai dengan Laporan Kajian Bangunan Bersejarah tahun 2007 yang dilakukan oleh Bappeda Purworejo. 

Disebutkan, Masjid yang terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Sindurjan atau tepatnya di Jalan Mayjend Sutoyo berdiri di atas tanah milik keluarga Cokronegaran. Soko guru (tiang utama) maupun soko rowo (tiang penyangga) Masjid Agung yang dibangun 1831 tersebut terbuat dari bahan kayu jati pendhowo. Diameter soko guru 200 cm dan tingginya puluhan meter. Masjid Agung Purworejo dibangun dengan gaya arsitektur Jawa, mirip dengan Masjid Agung Kraton Surakarta.
Bentuk bangunan Masjid Agung juga masuk dalam kategori arsitektur Islam Kuno, yaitu bentuk Tajug Lowahan Lambang Teplok (Nama bangunan ini terdapat dalam Serat Kalang yang merupakan buku arsitektur Jawa). Atap Masjid Agung tumpang tiga. Tumpang tiga bermakna, atap pertama disebut sebagai panilih yang mengandung arti syariah. Atap kedua disebut penangkup yang mengandung makna thoriqoh. Atap ketiga, brunjung yang maknanya hakekat. Sedang mahkota masjid mengandung arti ma’rifat.

Di dalam masjid terdapat papan dengan tulisan Jawa dan Arab. Arti tulisan tersebut jika dibaca : “RAA Cokronagoro Ping I Mas Pateh Cokrojoyo Purworejo : 1762” Tulisan tersebut menunjukkan angka tahun Hijriyah yang jika dihitung dengan tahun Masehi adalah tahun 1834. Tulisan tersebut dapat dibaca oleh setiap orang yang masuk ke dalam masjid melalui serambi depan.

Sampai sekarang  Masjid Agung tetap digunakan tempat beribadah oleh kaum muslim di Purworejo. Pada tahun 1834 Masjid Agung direnovasi. Pekerjaan renovasi dilakukan hari Ahad tanggal 2 bulan Besar tahun Alip 1762 Hijriyah atau 16 April 1834. Saat ini Masjid Agung yang usianya mencapai 177 tahun itu sudah mengalami banyak  perubahan. Bangunan induk sudah menggunakan atap genteng pres. Di atas atap terdapat mustaka yang terbuat dari perunggu dengan hiasan daun kandhaka hutan. 

Mesjid Agung Purworejo

Masjid Agung Darul Muttaqin tempo sekarang 

 

 

 

Masing-masing bagian bawah atap tumpang terdapat boven panil kaca es yang berfungsi sebagai pencahayaan. Atap ditopang oleh empat soko guru dan 12 soko rowo persegi yang dihubungkan dengan balok gantung rangkap. Soko guru di cat warna hijau dengan hiasan gometris lis kuning dan berdiri di atas  yoni tanpa cerat sebagai umpak. Keempat  yoni mempunyai ukuran yang berbeda. Soko rowo terbuat dari batu bata dan bagian bawah dilapisi keramik warna hijau. 

Setiap hari Masjid Agung tidak pernah sepi dari kunjungan wisatawan. Utamanya rombongan wisata relegius yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.