Pada
suatu saat, datanglah seorang Guru pengajar Agama Islam yang menaruh
belas kasihan kepadanya untuk menolongnya dan dianggapnya sebagai
anaknya sendiri. Dan setiap hari diajarnya pengetahuan Agama Islam.
Sebagai murid dalam ilmu Agama Islam ia tergolong anak yang paling
pandai, dan oleh sang guru Radin diberi nama tambahan sehingga
lengkapnya Radin Abbas. Melihat daya kemampuannya, maka Radin Abbas
kemudian dipondokkan di Pondok Pesantren Jombang. Pada perjalanannya
dari Demak ke Jombang ditempuhnya dengan perjalanan kaki saja. Karena
daya tangkap dalam menerima pelajaran, dalam sebentar mendengar
pelajaran dengan mudah memahami maksudnya.
Dalam
mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren Jombang itu, ia sering pergi ke
Mojowarno untuk mengikuti pelajaran Agama Kristen yang diajarkan oleh
DS. JELLESMA. Minatnya sangat tertarik dengan pelajaran Kristen melalui
Injil. Radin Abbas berhati keras dan progresif. Ia menyatakan menjadi
murid Ds. Jellesma untuk mendalami pengetahuan Agama Kristen. Oleh
karena ia ingin mencari kebenaran Allah, dari Pondok Pesantren Jombang
ia memasuki Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Tak lama kemudian Radin
Abbas pindah ke Semarang dan berguru kepada seorang pendeta Kristen Ds.
Hoczoo. Setiap hari Minggu ia rajin pergi ke gereja. Di Semarang ia
berkenalan dengan seorang Kyai Kristen bernama Ibrahim Tunggul Wulung.
Ia tertarik atas pelajarannya dan akhirnya menyatakan berguru kepada
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan terus menyatakan sebagai seorang yang
telah memeluk agama Kristen.
Dalam
tahun 1865 Radin Abbas berkenalan dengan Mr. Anthing seorang petugas
pengadilan di Semarang. Oleh karena kariernya, Mr. Anthing diangkat
sebagai Wakil Kejaksaan Tinggi di Batavia. Dan disamping tugasnya dalam
dinas governmentnya, Mr. Anthing juga mendirikan pendidikan Calon
Penyebar Agama Kristen. Pada suatu waktu Radin Abbas dan Kyai Ibrahim
Tunggul Wulung pergi ke Batavia. Oleh Mr. Anthing, Radin Abbas diterima
sebagai anak buahnya dan ia menerima pembaptisan tanggal 14 April 1867
dengan nama baptisnya Sadrach. Sehingga nama lengkapnya menjadi Sadrach
Radin Abbas, yang waktu itu berusia 26 tahun.
Dengan
seijin Mr. Anthing, Sadrach Radin Abbas akan kembali ke Jawa Tengah.
Perjalanannya akan ia tempuh dengan berjalan kaki saja : Batavia –
Bandung – Cirebon – Tegal – Semarang – Bendo. Disetiap kota yang ia
lalui, ia mengunjungi gereja-gereja Kristen yang ada. Setelah dapat
bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung, ia melanjutkan perjalanannya ke Jawa
Timur : Surabaya – Mojowarno.
Mendengar
kabar bahwa di Purworejo telah berdiri Pekabaran Injil yang dipimpin
oleh Ny. Philips di Tuksongo; maka rombongan Sadrach pergi dan datang di
Tuksongo Purworejo untuk menyaksikan tentang adanya berita yang
didengar. Ternyata beritanya adalah benar dan nyata. Akhirnya Sadrach
menetap di Purworejo dan membantu tugas Ny. Philips. Dimana atau di
daerah mana banyak orang yang menentang Kristen, disitulah tugas
Sadrach.
Cara Sadrach memperluas pengikutnya dengan cara ending sistim, door to door
didatangi secara langsung berganti-ganti rumah. Mengadakan kebaktian
secara bersama dilaksanakannya pada tahun 1871 (berdiri gereja) tempat
kebaktiannya dipindahkan di Dukuh Karangjoso Desa Langenrejo Kecamatan
Butuh Kabupaten Purworejo. Dan itulah didirikan rumah kebaktian di
Karangjoso.
Sadrach
dalam menyampaikan Pekabaran Injil secara khas Jawa dengan segala
bentuk dan methodanya sendiri. Tugas Sadrach dibantu oleh Ny. Philips
dalam menterjemahkan dari Bahasa Asing ke Bahasa Jawa.
Sadrach
memperistri putri dari pemilik Rumah Peribadatan di Karangjoso. Karena
dalam perkawinannya itu tidak dikaruniai keturunan, mereka mengangkat
anak yang bernama Yothan putra dari Markus. Oleh karena usaha-usahanya
dalam ikut Penyebaran Agama/Injil, maka nama Sadrach tercantum dalam
Daftar Anggota Gereja Belanda. Oleh Sadrach para muridnya ditugaskan
secara terpencar di seluruh Jawa Tengah untuk penyiaran Agama
Kristen/Injil. Pada suatu ketika Sadrach bersama Ny. Philips mengadakan
peninjauan ke pelosok, untuk melihat tentang penyebaran Injil yang
biayanya dari Gereja Belanda. Akhirnya karena sakit Ny. Philips
meninggal dunia 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun. Sejak itu Sadrach
bertekad akan bekerja keras untuk melanjutkan akan kelangsungan Kristen
Jawa. Ia menyebut dirinya Suropranoto yang berarti Berani Mengatur
Sendiri. Dan ia menamakan Kristen Jawa Mardika.
Setiap
hari Selasa Kliwon, di Karangjoso merupakan hari Pertemuan Besar. Pada
waktu berjangkitnya wabah cacar, orang-orang disekitar gereja Karangjoso
banyak yang tidak mencacarkan dirinya, karena tidak setuju adanya
pencacaran dipaksakan. Akhirnya diketahuilah oleh Government dan Gereja
Karangjoso ditutup dan rumah Sadrach digeledah karena diperkirakan bahwa
ia akan memberontak terhadap Government tahun 1882.
Peristiwa
yang disebut Jumat Wage adalah waktu peristiwa Sadrach diasingkan.
Sedang sebagai Pemimpin Kebaktian dilakukan oleh Ds. Bieger dari
Purworejo. Atas pengumuman Residen, Sadrach agar dikurung di rumah Ds.
Bieger. Tanggal 10 Juni 1882 Sadrach terbebas dan kembali memimpin
kebaktian di Gereja Kristen Jawa di Karangjoso. Tanggal 14 Nopember 1924
Sadrach meninggal dunia. Sepeninggal Sadrach para jamaah dipimpin oleh
Yothan dan tentang kegerejaan diserahkan kepada Zending pada 1 Mei 1933.
Para peserta yang setia kepada kerasulan menyingkir ke desa sebelah
yaitu Desa Ketug, Kec. Butuh, Kab. Purworejo.