PROSESI GUYANG JARAN (Desa Karangrejo, Kec. Loano)


Prosesi Guyang Jaran memiliki arti sebagai berikut. Dalam bahasa Jawa, Guyang = Memandikan, sedangkan Jaran = Kuda. Jika dilihat dalam konteks yang dimandikan adalah kuda kepang, maka arti lengkapnya adalah : Memandikan kuda kepang. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Grup Kesenian Kuda Kepang “Turonggo Seto” bersama warga masyarakat lainnya secara rutin setiap tahun sekali. Waktu pelaksanaannya adalah tepat dalam bulan Sura (bulan pertama dalam kalender Jawa). Lazimnya dilaksanakan setelah tanggal 10 Sura. Untuk tanggalnya tidak ditentukan, namun biasanya para sesepuh desa mendapatkan wisik / pesan ghaib dari para leluhur desa, kapan pelaksanaan kegiatan ini harus dilaksanakan.
Adapun maksud dari kegiatan ini adalah Pertama, sebagai wujud rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas keberlangsungan dan keselamatan kegiatan kesenian kuda kepang dan kehidupan masyarakat yang harmonis selama ini. Kedua, sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar grup kesenian dan masyarakat desa selalu mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman, dan desa mereka dapat terwujud sebagai desa yang gemah ripah loh jinawi. Ketiga, untuk “membersihkan” kelompok kesenian ini dari hal-hal tidak baik yang telah ditemui dalam setiap pementasan maupun keseharian selama satu tahun yang lalu. Pembersihan ini ditandai dengan mencuci semua kuda kepang yang dimiliki oleh grup tersebut di sungai.
Adapun urutan kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Ziarah ke makam para leluhur desa.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh para tokoh masyarakat, menuju kompleks makam desa yang terletak di puncak bukit. Dengan membawa uba rampé / kelengkapan, seperti bunga. Para tokoh masyarakat ini mengadakan ziarah dan berdoa di makam para leluhur.  Makam leluhur yang dituju adalah makam dari Pangeran Dipokusumo / Imam Muhammad dan makam para nayaka praja (pejabat) Nagari Purworejo (sebutan dalam bahasa Jawa terhadap Kabupaten Purworejo pada jaman Hindia Belanda) yang dikebumikan di desa setempat.
2.  Guyang Jaran
Prosesi pertama ini ditandai dengan dikeluarkannya kuda kepang dari “Kandang Jaran”. Kandang = tempat tinggal binatang, Jaran = kuda. Kandang disini adalah istilah / kata lain dari rumah warga yang dijadikan tempat penyimpanan kuda kepang. Dari rumah / kandang jaran tersebut kuda kepang diarak dengan diiringi tetabuhan menuju ke pinggir sungai yang mengaliri desa yaitu sungai Bogowonto dan sungai Gading. Pada pertemuan antara 2 (dua) aliran sungai inilah nanti kegiatan Guyang Jaran akan dilaksanakan.
Pada waktu yang telah ditentukan, para pengrawit (penabuh gamelan) dan penari akan melaksanakan tarian di tempuran sungai tersebut dengan menceburkan kuda kepang ke dalam air.
Para penari yang ikut dalam prosesi ini adalah yang telah berusia lanjut / tua, dikarenakan yang disajikan dalam prosesi ini adalah tarian kuno / tradisi. Karena menurut kepercayaan setempat, pementasan kuda kepang harus didahului dengan tarian yang tradisi, setelah itu baru diperbolehkan tarian yang sudah mendapat sentuhan gerak modern.
Para penari kelompok kuda kepang dalam prosesi ini mempergunakan pakaian serba hitam.
3.  Wilujèngan
Wilujèngan / selamatan merupakan kegiatan kenduri dengan menghadirkan seluruh anggota kelompok kuda kepang dan masyarakat. Dilaksanakan pada malam hari setelah kegiatan Guyang Jaran. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan dengan mengambil tempat di Balai Desa. Sajian yang dikendurikan adalah makanan khas desa setempat, bahkan makan bersama dilaksanakan dengan menggunakan pincuk /daun pisang yang dibentuk menyerupai piring.
4.  Pentas
Prosesi terakhir adalah pentas. Pentas ini merupakan pergelaran yang dilakukan oleh seluruh pemain dan pengrawit terdiri dari 3 (tiga) generasi. Mereka terdiri dari : generasi anak-anak, pemuda, dan orang tua.  Masing-masing menari dengan waktu yang bergantian. Ini menunjukkan atau sebagai wujud dari :  Pertama, kebersamaan baik dalam grup kesenian itu sendiri maupun antar grup kesenian dan masyarakat. Karena pementasan ini ditonton atau dinikmati oleh masyarakat luas. Kedua, terjadi proses regenerasi dalam grup atau kesenian kuda kepang di desa setempat, merupakan bentuk nyata upaya dari para sesepuh / orang tua dalam meneruskan atau melanggengkan kesenian ini. Kegiatan ini dilaksanakan di tanah lapang, dengan durasi lama.