Sepenggal Cerita Seputar Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngadagan tahun 1947
Sebuah desa yang tenang, dengan kondisi geografi berupa hamparan sawah dan perbukitan. Desa Ngandagan, terletak di sebelah barat laut Kabupaten Purworejo. Siapa yang menyangka bahwa Desa ini pada jaman kejayaanya sekitar tahun 1947, merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Pituruh yang pernah dikunjungi oleh Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno.
Mengapa Presiden Soekarno Berkunjung ke Desa Ngandagan ?
Dibawah kepimpinan seorang Glondhong (lurah) yang jujur, cerdas, bijaksana dan “mumpuni” bernama Sumotirto dengan nama kecil Mardikun (1946-1963) Desa Ngandagan menjadi sebuah desa percontohan yang sangat terkenal. Tidak heran para pejabat pemerintahan dengan mobilnya yang saat itu merupakan barang langka sering terlihat hilir mudik mengunjungi Desa itu. Dari sekedar rekreasi hingga yang bertujuan melakukan peninjauan. Belum lagi kunjungan murid-murid sekolah maupun masyarakat umum dari berbagai daerah. Bahkkan tidak heran ketika itu tahun 1960 seorang mahasiswa pernah melakukan penelitian (1961-1981) hasilnya : Land Reform in a Javanes strong>e Village Ngandagan : a case study on the role of Lurah in decision making prosess dan pada tahun 2009 kembali muncul dengan Judul Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan Jawa Tengah sampai Porto Alegre Brazil) siapa lagi penulisnya kalau bukan (Dr. HC) Ir. Gunawan Wiradi M. Soc. S.c yang cukup dikenal di IPB Bogor.
Hamparan sawah yang menghijau di Desa Ngandagan
Melalui cerita dari saksi hidup antara lain menyebutkan bahwa di bawah kepemimpinan Glondhong Sumotirto tidak ada warga desa yang malas (bhs jawa gembeng), tidak ada maling berani mengusik ketentraman desa. Yang membuat saya merinding “tidak ada rumput yang boleh tumbuh megotori jalan Desa Ngandagan”. Walaupun terkesan otoriter dan disiplin semua warga desa saat itu merasakan kemakmuran dan ketentraman.
Jadilah Desa Ngandagan menjadi Desa percontohan, sepanjang jalan yang bersih ditaburi kerikil, kiri-kanan jalan ditanami pohon Pepaya Unggul berbuah sangat lebat dan besar-besar. Dari kejauhan bukit yang menghijau ditanami pohon jeruk dan buahnya juga sangat lebat, dibawahnya terdapat kolam ikan dengan airnya yang sangat jernih. Dan di ujung bukit yang kelihatan “mecucu” karena terletak di ketinggian, terdapat tempat peristirahatan Gua Gunung Pencu. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana pemikiran seorang lurah yang sangat maju di jaman itu, jika dikaitkan dengan konsep Desa Wisata yang tengah digembar-gemborkan, diwacanakan, namun belum bisa diwujudkan hingga sekarang. Ternyata berpuluh-puluh tahun yang silam telah dicontohkan dengan sempurna oleh seorang Glondhongbernama Sumotirto tanpa meminta bantuan dari pemerintah alias berdikari.
Mengapa warga Desa Ngandagan saat itu sangat menghormati dan mencintai kepemimpinan beliau ? Jawabanya adalah karena beliau memimpin melalui pendekatan kesejahteraan, kejujuran, disiplin dan pemberian sanksi yang keras. Sebagai contoh jika ada warga yang akan mantu atau khitanan, maka beliau akan meminta perangkat desa mendata siapa-siapa yang akan mantu atau khitanan. Setelah didata maka beliau sendiri yang akan menanggung biaya hajatan dan khitanan tersebut secara masal. Ini sekaligus menjadi hiburan tersendiri bagi warga di luar desa yang akan mengunjungi Desa Ngandagan. Yang terkenal hingga saat ini beliau pernah menikahkan 21 orang pasangan pengantin. Warga Desa Ngandagan benar-benar merasa diayomi sang pemimpin mereka.
Hasil pertanianpun tidak boleh dijual kepada tengkulak, tetapi harus dijual ke pasar. Jika ada warga yang masih tinggal di gunung, maka akan dibantu dipindahkan ke tanah desa dan dibantu membangun rumahnya atau istilah kerennya resettlement . Jika ada pencuri yang tertangkap di desanya maka pencuri itu akan beliau bina, menjadi orang baik dan bila perlu dicarikan jodoh dari warga Desa Ngadagan. Jika masih ada warganya yang nempur beras untuk makan, maka beliau tidak segan akan memberinya bantuan beras. Melalui Land reform kepemilikan tanah diupayakan supaya lebih adil antara lain dengan cara memberikan tanah garapan kepada rakyat miskin dan Tunakisma. Tanah desa tidak boleh dijual kepada orang dari luar desa (beberapa desa masih menerapkan aturan ini hingga sekarang). Karena akan terkait dengan sumbangan tenaga kerja pemilik tanah yang harus disumbangkan kepada kemajuan desa istilah orang kampung “kerigan/kerja bakti”.
Beliau ini juga terkenal sebagai penggemar seni dan juga mempunyai jiwa seni. Untuk menarik para pengunjung beliu juga tidak segan menanggap berbagai kesenian tradisional untuk menghibur warganya maupun warga dari luar Desa Ngandagan. Konon disamping rumah beliau yang ada kaki bukit terdapat rumah panggung khusus untuk menggelar/menanggap kesenian tradisional seperti wayang kulit, wayang orang dan kethoprak.
Ketenaran Desa Ngandagan sebagai desa percontohan memberikan daya tarik tersendiri bagi Presiden Soekarno kala itu. Ir. Soekarno mengunjungi Desa Ngandagan pada tahun 1947. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk meninjau keberhasilan proyek pertanian jeruk dan perikanan di Desa Ngandagan. Selain itu ada cerita juga bahwa Presiden Soekarno dan Glondhong Sumotirto pernah belajar pada “Guru” yang sama. Sebagaiman layaknya ketika suatu daerah akan mendapat kunjungan dari Sang Presiden.
Sepanjang jalan dari arah Kemiri sampai Pituruh didirikan posko-posko penyambutan. Beragam kesenian tradisional memamerkan kepiawaiannya. Bermacam-macam hasil pertanian unggulan dipamerkan dan warga yang berminat dipersilahkan menikmati secara cuma-cuma.
Ketika rombongan Presiden Ir. Soekarno tiba di Desa Ngandagan, ribuan rakyat pengagum beliau berdesak-desakan untuk turut menyambut ataupun hanya sekedar ingin melihat langsung sosok Presiden yang mereka puja itu. Dalam pidatonya beliau memuji kemandirian Warga Desa Ngandagan bersama Glondhong Sumotirto dalam membangun desanya. Dalam pidato/dialognya dengan warga desa, kurang lebih “Aku kudu nganggo basa krama apa ngoko ? serentak dijawab ngoko…!!. Desa Ngadagan pancen hebat, ora perlu bantuan saka pemerintah nanging bisa dadi desa kang maju….
Berlangsunglah dialog rakyat dengan Presiden di depan rumah Glondhong Sumotirto. Kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian rakyat yang tidak henti-hentinya menunjukkan kebolehan mereka.
Kunjungan dilanjutkan dengan meninjau tempat peristirahatan Gunung Pencu. Presiden Soekarno kembali menguji kepandaian warga desa. “Ayo sapa sing bisa nulis jenengku …maju ! Maka majulah salah seorang sukarelawan menulis Sukarno dengan aksara jawa. Namun ada kesalahan dalam menulis nama Soekarno, karena didepan huruf “Sa” yang disuku kelebihan huruf “Ha”, sehingga bunyinya “* Sukarno” dan semua yang hadir tertawa. Yang menarik Presiden Soekarno tidak marah bahkan memaklumi dan ikut tertawa. Kemudian Presiden Soekarno dengan sabar membimbingnya sambil menulis “ Sa disuku unine apa..? secara serentak masyarakat yang hadir menjawab Su…, banjur Ka dilayar Kar…, terus Na ditaling lan diwenehi tarung diwaca No… dadi wacane Su-kar-no”.
Rakyat pun senang karena dibimbing Presiden Soekarno. Bapak saya sendiri juga menyaksikan beliau ketika memasuki Gua Gunung Pencu melalui pintu sebelah timur, karena pintunya cukup rendah untuk ukuran Presiden Soekarno, maka beliau harus menunduk dan melepas kopiahnya. Setelah selesai melakukan kunjungan di Desa Ngandagan Presiden Soekarno beserta rombongan melanjutkan perjalan ke Kota Purworejo, dan melakukan pidato di alun-alun Purworejo.
Pintu Timur, tempat Presiden Soekarno menikmati kesejukan Gunung Pencu kini ditumbuhi semak-semak. Lorong bagian dalam batu cadasnya diselimuti lumut dan akar-akar pohon menyembul disela-selanya
Itulah sekelumit cerita seputar Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngandagan yang saya peroleh dari cerita saksi hidup, ketika kembali mengunjungi Gua Gunung Pencu pada bulan Mei 2010. Bagaimanapun Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngandagan tidak terlepas dari keberhasilan Glondhong Sumotirto dalam memimpin Desa Ngadagan. Pola kepemimpinan beliau dalam memajukan desa, bisa dijadikan contoh untuk memajukan pedesaan di Indonesia.
Namun rangkaian kunjungan resmi tersebut hingga saat ini kurang dikenal, dan yang lebih mengemuka adalah bahwa kunjungan Presiden Soekarno ke Ngadagan (Gua Gunung Pencu) adalah untuk mengambil barang/pusaka. Ini sangat terasa ketika saya berjalan menyusuri jalan setapak ke Gua Gunung Pencu, langsung ditanya “Mas..badhe pados “barang/pusaka” tinggalane Pak Presiden Soekarno napa ?. Rupanya mengapa ada lubang galian yang tidak dikembalikan seperti semula di tengah lorong Gua terkait dengan pertanyaan itu. Saya hanya bisa geleng kepala, jaman begini masih ada saja orang-orang seperti itu.
Tulisan Semangat Perjuangan 1945 di depan Pintu Sebelah Timur sampai kapan mampu bertahan ?
Saya juga teringat ketika saya masih duduk di SD sekitar 1980 an, Gua Gunung Pencu sempat menjadi kunjungan wajib bagi para siswa. Dengan berjalan kaki perjalanan dilanjutkan ke Gua Gong, Silumbu dan Watu Lawang yang terdapat di sebelah utara Desa Ngandagan. Sambil berdiri menatap beberapa bagian lorong yang roboh itu, saya masih terngiang-ngiang ketika teman-teman sebaya dengan riang belarian di komplek Gua gunung Pencu, sambil beradu pendapat mengira-ngira setiap apa yang kami lihat. Dahulu tempat itu sangat bersih dan sejuk. Namun sayang saat ini kondisinya memprihatinkan. Disana sini ditumbuhi semak, beberapa bangunan hancur, dan tulisan bernada semangat perjuangan 45 mulai memudar tergerus hujan dan lumut. Melalui coretan ini saya berharap semoga masih ada kepedulian dari pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan bukti peninggalan sejarah tersebut, dan kalau kita mau mempelajari konsep pengembangan Desa Ngadagan waktu itu, potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata alternatif di Purworejo sangat memungkinkan.
Rekomendasi produk buat membuat momen perjalananmu terabadikan :
NIKON Camera DSLR D3400 Kit
Sebuah desa yang tenang, dengan kondisi geografi berupa hamparan sawah dan perbukitan. Desa Ngandagan, terletak di sebelah barat laut Kabupaten Purworejo. Siapa yang menyangka bahwa Desa ini pada jaman kejayaanya sekitar tahun 1947, merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Pituruh yang pernah dikunjungi oleh Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno.
Mengapa Presiden Soekarno Berkunjung ke Desa Ngandagan ?
Dibawah kepimpinan seorang Glondhong (lurah) yang jujur, cerdas, bijaksana dan “mumpuni” bernama Sumotirto dengan nama kecil Mardikun (1946-1963) Desa Ngandagan menjadi sebuah desa percontohan yang sangat terkenal. Tidak heran para pejabat pemerintahan dengan mobilnya yang saat itu merupakan barang langka sering terlihat hilir mudik mengunjungi Desa itu. Dari sekedar rekreasi hingga yang bertujuan melakukan peninjauan. Belum lagi kunjungan murid-murid sekolah maupun masyarakat umum dari berbagai daerah. Bahkkan tidak heran ketika itu tahun 1960 seorang mahasiswa pernah melakukan penelitian (1961-1981) hasilnya : Land Reform in a Javanes strong>e Village Ngandagan : a case study on the role of Lurah in decision making prosess dan pada tahun 2009 kembali muncul dengan Judul Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan Jawa Tengah sampai Porto Alegre Brazil) siapa lagi penulisnya kalau bukan (Dr. HC) Ir. Gunawan Wiradi M. Soc. S.c yang cukup dikenal di IPB Bogor.
Hamparan sawah yang menghijau di Desa Ngandagan
Melalui cerita dari saksi hidup antara lain menyebutkan bahwa di bawah kepemimpinan Glondhong Sumotirto tidak ada warga desa yang malas (bhs jawa gembeng), tidak ada maling berani mengusik ketentraman desa. Yang membuat saya merinding “tidak ada rumput yang boleh tumbuh megotori jalan Desa Ngandagan”. Walaupun terkesan otoriter dan disiplin semua warga desa saat itu merasakan kemakmuran dan ketentraman.
Jadilah Desa Ngandagan menjadi Desa percontohan, sepanjang jalan yang bersih ditaburi kerikil, kiri-kanan jalan ditanami pohon Pepaya Unggul berbuah sangat lebat dan besar-besar. Dari kejauhan bukit yang menghijau ditanami pohon jeruk dan buahnya juga sangat lebat, dibawahnya terdapat kolam ikan dengan airnya yang sangat jernih. Dan di ujung bukit yang kelihatan “mecucu” karena terletak di ketinggian, terdapat tempat peristirahatan Gua Gunung Pencu. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana pemikiran seorang lurah yang sangat maju di jaman itu, jika dikaitkan dengan konsep Desa Wisata yang tengah digembar-gemborkan, diwacanakan, namun belum bisa diwujudkan hingga sekarang. Ternyata berpuluh-puluh tahun yang silam telah dicontohkan dengan sempurna oleh seorang Glondhongbernama Sumotirto tanpa meminta bantuan dari pemerintah alias berdikari.
Mengapa warga Desa Ngandagan saat itu sangat menghormati dan mencintai kepemimpinan beliau ? Jawabanya adalah karena beliau memimpin melalui pendekatan kesejahteraan, kejujuran, disiplin dan pemberian sanksi yang keras. Sebagai contoh jika ada warga yang akan mantu atau khitanan, maka beliau akan meminta perangkat desa mendata siapa-siapa yang akan mantu atau khitanan. Setelah didata maka beliau sendiri yang akan menanggung biaya hajatan dan khitanan tersebut secara masal. Ini sekaligus menjadi hiburan tersendiri bagi warga di luar desa yang akan mengunjungi Desa Ngandagan. Yang terkenal hingga saat ini beliau pernah menikahkan 21 orang pasangan pengantin. Warga Desa Ngandagan benar-benar merasa diayomi sang pemimpin mereka.
Hasil pertanianpun tidak boleh dijual kepada tengkulak, tetapi harus dijual ke pasar. Jika ada warga yang masih tinggal di gunung, maka akan dibantu dipindahkan ke tanah desa dan dibantu membangun rumahnya atau istilah kerennya resettlement . Jika ada pencuri yang tertangkap di desanya maka pencuri itu akan beliau bina, menjadi orang baik dan bila perlu dicarikan jodoh dari warga Desa Ngadagan. Jika masih ada warganya yang nempur beras untuk makan, maka beliau tidak segan akan memberinya bantuan beras. Melalui Land reform kepemilikan tanah diupayakan supaya lebih adil antara lain dengan cara memberikan tanah garapan kepada rakyat miskin dan Tunakisma. Tanah desa tidak boleh dijual kepada orang dari luar desa (beberapa desa masih menerapkan aturan ini hingga sekarang). Karena akan terkait dengan sumbangan tenaga kerja pemilik tanah yang harus disumbangkan kepada kemajuan desa istilah orang kampung “kerigan/kerja bakti”.
Beliau ini juga terkenal sebagai penggemar seni dan juga mempunyai jiwa seni. Untuk menarik para pengunjung beliu juga tidak segan menanggap berbagai kesenian tradisional untuk menghibur warganya maupun warga dari luar Desa Ngandagan. Konon disamping rumah beliau yang ada kaki bukit terdapat rumah panggung khusus untuk menggelar/menanggap kesenian tradisional seperti wayang kulit, wayang orang dan kethoprak.
Ketenaran Desa Ngandagan sebagai desa percontohan memberikan daya tarik tersendiri bagi Presiden Soekarno kala itu. Ir. Soekarno mengunjungi Desa Ngandagan pada tahun 1947. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk meninjau keberhasilan proyek pertanian jeruk dan perikanan di Desa Ngandagan. Selain itu ada cerita juga bahwa Presiden Soekarno dan Glondhong Sumotirto pernah belajar pada “Guru” yang sama. Sebagaiman layaknya ketika suatu daerah akan mendapat kunjungan dari Sang Presiden.
Sepanjang jalan dari arah Kemiri sampai Pituruh didirikan posko-posko penyambutan. Beragam kesenian tradisional memamerkan kepiawaiannya. Bermacam-macam hasil pertanian unggulan dipamerkan dan warga yang berminat dipersilahkan menikmati secara cuma-cuma.
Ketika rombongan Presiden Ir. Soekarno tiba di Desa Ngandagan, ribuan rakyat pengagum beliau berdesak-desakan untuk turut menyambut ataupun hanya sekedar ingin melihat langsung sosok Presiden yang mereka puja itu. Dalam pidatonya beliau memuji kemandirian Warga Desa Ngandagan bersama Glondhong Sumotirto dalam membangun desanya. Dalam pidato/dialognya dengan warga desa, kurang lebih “Aku kudu nganggo basa krama apa ngoko ? serentak dijawab ngoko…!!. Desa Ngadagan pancen hebat, ora perlu bantuan saka pemerintah nanging bisa dadi desa kang maju….
Berlangsunglah dialog rakyat dengan Presiden di depan rumah Glondhong Sumotirto. Kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian rakyat yang tidak henti-hentinya menunjukkan kebolehan mereka.
Kunjungan dilanjutkan dengan meninjau tempat peristirahatan Gunung Pencu. Presiden Soekarno kembali menguji kepandaian warga desa. “Ayo sapa sing bisa nulis jenengku …maju ! Maka majulah salah seorang sukarelawan menulis Sukarno dengan aksara jawa. Namun ada kesalahan dalam menulis nama Soekarno, karena didepan huruf “Sa” yang disuku kelebihan huruf “Ha”, sehingga bunyinya “* Sukarno” dan semua yang hadir tertawa. Yang menarik Presiden Soekarno tidak marah bahkan memaklumi dan ikut tertawa. Kemudian Presiden Soekarno dengan sabar membimbingnya sambil menulis “ Sa disuku unine apa..? secara serentak masyarakat yang hadir menjawab Su…, banjur Ka dilayar Kar…, terus Na ditaling lan diwenehi tarung diwaca No… dadi wacane Su-kar-no”.
Rakyat pun senang karena dibimbing Presiden Soekarno. Bapak saya sendiri juga menyaksikan beliau ketika memasuki Gua Gunung Pencu melalui pintu sebelah timur, karena pintunya cukup rendah untuk ukuran Presiden Soekarno, maka beliau harus menunduk dan melepas kopiahnya. Setelah selesai melakukan kunjungan di Desa Ngandagan Presiden Soekarno beserta rombongan melanjutkan perjalan ke Kota Purworejo, dan melakukan pidato di alun-alun Purworejo.
Pintu Timur, tempat Presiden Soekarno menikmati kesejukan Gunung Pencu kini ditumbuhi semak-semak. Lorong bagian dalam batu cadasnya diselimuti lumut dan akar-akar pohon menyembul disela-selanya
Itulah sekelumit cerita seputar Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngandagan yang saya peroleh dari cerita saksi hidup, ketika kembali mengunjungi Gua Gunung Pencu pada bulan Mei 2010. Bagaimanapun Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngandagan tidak terlepas dari keberhasilan Glondhong Sumotirto dalam memimpin Desa Ngadagan. Pola kepemimpinan beliau dalam memajukan desa, bisa dijadikan contoh untuk memajukan pedesaan di Indonesia.
Namun rangkaian kunjungan resmi tersebut hingga saat ini kurang dikenal, dan yang lebih mengemuka adalah bahwa kunjungan Presiden Soekarno ke Ngadagan (Gua Gunung Pencu) adalah untuk mengambil barang/pusaka. Ini sangat terasa ketika saya berjalan menyusuri jalan setapak ke Gua Gunung Pencu, langsung ditanya “Mas..badhe pados “barang/pusaka” tinggalane Pak Presiden Soekarno napa ?. Rupanya mengapa ada lubang galian yang tidak dikembalikan seperti semula di tengah lorong Gua terkait dengan pertanyaan itu. Saya hanya bisa geleng kepala, jaman begini masih ada saja orang-orang seperti itu.
Tulisan Semangat Perjuangan 1945 di depan Pintu Sebelah Timur sampai kapan mampu bertahan ?
Saya juga teringat ketika saya masih duduk di SD sekitar 1980 an, Gua Gunung Pencu sempat menjadi kunjungan wajib bagi para siswa. Dengan berjalan kaki perjalanan dilanjutkan ke Gua Gong, Silumbu dan Watu Lawang yang terdapat di sebelah utara Desa Ngandagan. Sambil berdiri menatap beberapa bagian lorong yang roboh itu, saya masih terngiang-ngiang ketika teman-teman sebaya dengan riang belarian di komplek Gua gunung Pencu, sambil beradu pendapat mengira-ngira setiap apa yang kami lihat. Dahulu tempat itu sangat bersih dan sejuk. Namun sayang saat ini kondisinya memprihatinkan. Disana sini ditumbuhi semak, beberapa bangunan hancur, dan tulisan bernada semangat perjuangan 45 mulai memudar tergerus hujan dan lumut. Melalui coretan ini saya berharap semoga masih ada kepedulian dari pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan bukti peninggalan sejarah tersebut, dan kalau kita mau mempelajari konsep pengembangan Desa Ngadagan waktu itu, potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata alternatif di Purworejo sangat memungkinkan.
Rekomendasi produk buat membuat momen perjalananmu terabadikan :
NIKON Camera DSLR D3400 Kit