PABRIK GULA DI JENAR


Bagi siapa saja yang pernah membaca riwayat hidup/biografi Jendral Achmad Yani akan mengetahui bahwa Pahlawan Revolusi itu dilahirkan oleh keluarga Bpk. Wongsoredjo dan Ibu Murtini pada tanggal 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo. Pada waktu itu Bpk Wongsoredjo bekerja sebagai sopir Meneer/Tuan Boss, salah satu pimpinan Pabrik Gula Jenar Purworejo dan Pak Yani dilahirkan di perumahan di lingkungan Pabrik tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud membahas riwayat hidup Pak Yani yang sudah banyak ditulis dan kita ketahui bersama, namun akan “bercerita” tentang tempat dimana beliau dilahirkan, yaitu PABRIK GULA JENAR.

Pabrik Gula Jenar Selesai Dibangun dan Mulai Beroperasi tahun 1910
Berdasarkan sumber tertulis Belanda, pabrik gula Jenar itu dibangun pada tahun 1909 oleh N.V.Suikeronderneming “Poerworedjo”, sebuah perusahaan terbuka (PT) yang dibentuk pada tahun 1908 di Amsterdam dengan tujuan untuk mengusahakan sebuah pabrik gula di Purworejo dengan modal 5 juta gulden yang terbagai dalam saham masing2 lembar senilai 1000 gulden. Nampaknya pada waktu itu orang Belanda berlomba lomba untuk mendirikan pabrik gula di Jawa sehubungan dengan adanya fasilitas berdasar Undang-Undang Agraria tahun 1870 dan juga mengingat kebutuhan gula di dunia sangat meningkat, sehingga menjelang akhir 1920 jumlah pabrik gula di Jawa ada sekitar 180 buah. Indonesia (Jawa) menjadi salah satu pengeskpor gula terbesar di dunia bersama dengan Kuba.

Untuk membangun “Suikerfabriek Poerworedjo” itu dipilih lokasinya di desa Plandi termasuk kecamatan Purwodadi, yang terletak kira2 di Km. 8 jalan Purworejo- Jogya di sebelah kanan jalan, masuk sekitar kurang 1 km dari jalan besar. Mengapa kemudian terkenal dengan nama pabrik gula Jenar, mungkin karena nama Jenar lebih “populer” dari Plandi bahkan dengan Purwodadi yang waktu itu merupakan salah satu Kawedanan (Distrik) dari Kabupaten Purworejo, dimana Jenar masuk dalam wilayahnya. Itu dugaan saya.Yang jelas pada tahun 1909 pabrik mulai dibangun dengan giatnya dan menjelang akhir tahun 1910 pabrik gula sudah siap dan mulai berproduksi.

Pembangunan pabrik gula ini nampaknya secara fisik telah mengubah wajah daerah Jenar dan Purwodadi. Hampir sebagian besar daerah Kawedanan Purwodadi (dulu) termasuk asistenan/kecamatan di lingkungannya, khususnya kecamatan Purwodadi dan Ngombol, menjadi lahan untuk tanaman tebu sebagai bahan pokok untuk pabrik gula. Daerah Purworejo selatan memang terkenal sebagai daerah persawahan yang cukup luas untuk maksud itu, dan itulah barangkali mengapa lokasi pabrik dipilih disitu.Untuk keperluan tersebut Perusahaan mendapat ijin menyewa tanah (paksa) dari pemilik/penggarap berdasar ketentuan Undang-undang Agraria tahun 1870 tersebut, dan memang Undang2 inilah yang merupakan dasar bagi berkembang-pesatnya pabrik gula di Jawa. Kurang jelas bagi saya apakah seluruh daerah persawahan di daerah selatan pabrik menjadi area tanaman tebu, namun yang jelas area itu cukup luas mengingat kebutuhan bahan baku tebu bagi produksi gula.

Untuk mengangkut hasil tebu dari area yang tersebar luas itu,disamping menggunakan sarana tranportasi tradisional seperti “grobag sapi racuk” lewat jalan2 yang ada, dibangunlah satu jaringan rel kereta-api kecil atau lori sesuai dengan kebutuhan dan menjangkau seluruh area tanaman tebu. Sisa-sisa jaringan itu sampai akhir2 ini (tahun ‘60-an) masih terlihat dibeberapa area persawahan sebagaimana disebut diatas. Dari cerita saksi mata dikatakan bahwa dari Pabrik, rel utama memanjang kearah Purwodadi , sebagaian terus kedaerah Bubutan sepanjang kali Bogowonto dan sekitarnya, dan sebagian belok kekanan terus ke-area tanaman tebu kedaerah Ngombol, Ngangkruk ketip, Wingko, Wunut dan sekitarnya. Sayang data otentik untuk ini tidak ada. Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa area tanaman tebu itu pasti cukup luas untuk menjamin “berputar”nya gilingan pabrik gula yang menguntungkan.

Selama berproduksi, pabrik gula Jenar memberikan sumbangan kepada total produksi gula sebanyak 3 juta ton per tahun yang dihasilkan oleh 180 pabrik gula di Jawa, sebagian besar untuk tujuan ekspor. Keuntungan bersih yang diraup oleh pabrik gula Jenar pada tahun 1916 (sebagai contoh) sebesar 51 ribu gulden. Untuk menggambarkan nilai uang sebesar itu harus dibandingkan dengan pendapatan buruh-tani yang saya ketahui ditahun-tahun ‘30-an, sebesar 14 sen sehari dan harga nasi rames satu sen sebungkus/sepincuk. Gaji seorang nDoro Mantri Guru sekolah Vervolkschool (Ongko Loro) sebesar 60-70 gulden/bulan. Gaji sebesar itu sudah cukup untuk hidup “sangat” mewah bagi ukuran desa. Saya sendiri hanya dapat “jatah” dari ibu saya sepuluh sen bila Lebaran datang, dan dari pengumpulan keliling “cari sangu” ada tambahan sekitar 5-6 sen, sudah merasa sebagai orang “kaya”, bisa jajan, beli mainan dan plesir kemana-mana.

Bagaimana pengaruh keberadaan pabrik gula Jenar bagi kesejahteraan masyarakat Bagelen waktu itu? Sebuah studi mengenai hal itu menyatakan bahwa masuknya modal dan kegiatan usaha perkebunan di daerah Bagelen/Purworejo termasuk keberadaan pabrik tersebut hampir tidak berdampak positif secara sosial dan ekonomi. Keuntungan yang berlimpah hanya dinikmati oleh pemilik modal dan “pengusaha antara” yang umumnya di monopoli oleh golongan etnis Cina, sedang penduduk/masyarakat hanyalah sebagai “penonton” yang pasif.

Kejayaan pabrik gula tiba-tiba tersungkur dengan datangnya krisis ekonomi dunia bulan Oktober tahun 1929 yang terkenal dengan depresi besar tahun 1929, dipicu dengan ambruknya Bursa Saham (stock market crash) Wallstreet di New York yang kemudian menjalar keseluruh dunia. Di Eropa “the Great Depression” itu dikenal sebagai “Malaise” dan ke Indonesia di plesetkan sebagai “jaman Meleset” yang berimbas dengan berbagai kesulitan hidup. Sejalan dengan krisis tersebut, permintaan dunia untuk gula anjlog sementara suplai tetap membanjir. Kenyataan itu memaksa diadakan sistem quota yang membatasi produksi gula, yang terkenal dengan perjanjian Charbourne tahun 1931. Indonesia (Jawa) harus menurunkan produksi dari semula 3 juta ton menjadi hanya 1.4 juta ton ( pengurangan lebih dari 50%), akibatnya 9 dari 17 pabrik gula di daerah Jogya “tersungkur” dan tutup.

Nampaknya pabrik gula Jenar tidak bisa menghindar dari kenyataan tersebut dan harus menerima nasib yang sama, tidak bisa bertahan. Tahun 1932 mulai “meregang nyawa” dan akhirnya tahun 1933 tidak ada pilihan lain, bangkrut dan di liquidasi alias bubar… Selesailah sudah episode tentang sebuah pabrik gula Jenar di daerah Purworejo. Ternyata sebuah perusahaan itu tidak ada bedanya dengan kehidupan manusia, dia lahir, tumbuh, berkembang dan mati/menghilang. Seperti halnya umur manusia, nasibnya juga berbeda-beda, ada yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang.

Dalam hal pabrik gula Jenar, usianya tidak lebih dari 24 tahun sejak didirikan/dilahirkan tahun 1909, terhitung usia yang pendek. Beberapa pabrik gula yang dibangun sebelum pabrik gula Jenar bahkan masih bisa bertahan sampai saat ini.

Sekarang ini, lebih 100 tahun sejak didirikan dan hampir 80 tahun sejak bubar, nyaris tidak ada lagi kenangan yang tersisa dari keberadaan sebuah pabrik gula Jenar. Di lokasi bekas pabrik hanya tersisa reruntuhan yang tidak memberikan kesan bahwa disitu dulu pernah ada bangunan2 yang besar didaerah Purworejo. Di desa Pulutan, kecamatan Ngombol, masih ada jembatan desa yang tersisa yang dibangun oleh “SUIKERONDERNEMING POERWOREDJO 1925”, itulah salah satu monumen/bukti bagi kita tentang adanya sebuah pabrik gula di Jenar. Selebihnya, generasi sekarang hanya mengenal nama pabrik gula Jenar pada waktu mempelajari riwayat hidup Pahlawan Revolusi Jendral Achmad Yani yang memang lahir di tempat itu.