Secara budaya, abad ke-19 merupakan jembatan ke dunia modern. Pada bagian akhir abad tersebut Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Pada akhir abad tersebut telah ada lembaga budaya penting yang akan membawa Indonesia ke modernisasi. Mesin cetak, kapal api, rel kereta, dan telegraf memberi sumbangan perubahan dalam waktu dan ruang yang dicitrakan dan bagaimana citraan ini dikaitkan. Lingkungan kota dengan aneka suku dan hubungan tercetak juga mulai mengubah cara seseorang melihat dirinya sendiri dalam masyarakat.
Sebagaimana kemajuan abad ke-19, tenaga uap membuat angkutan—baik darat maupun laut—lebih cepat dan lebih teratur. Dengan pembukaan Terusan Suez (1869) berarti bahwa jarak antara Eropa dan tanah suci Islam lebih mudah dicapai. Tahun 1880, Nusantara sibuk dengan kapal-kapal api kecil dan perjalanan kapal api teratur menguasai perjalanan orang Eropa. Tahun 1860-an, rel kereta mulai menggantikan angkutan yang dihela kuda di jalur utama Jawa. Baik kapal api maupun kereta api memungkinkan terwujudnya layanan pos umum yang teratur, dan berjalan dengan perangko pos pra-bayar dan kantor pos di kota besar Jawa tahun 1862. Dalam beberapa dasawarsa, tiba-tiba dimungkinkan berhubungan jarak jauh dan pergi dengan
ketenangan dan kepercayaan lebih besar.
Cakrawala dunia lebih luas, pergerakan fisik lebih besar, dan lingkungan nontradisional kehidupan kota mendukung jenis sastra baru. Yang paling awal ditulis dalam bahasa Melayu oleh Abdullah bin Muhammad al-Misri (1823) dan Abdullah bin Abdul Kadir (1838). Kisah perjalanan merupakan tema lama, namun cerita-cerita ini dimasukkan ke dalam orang pertama, yang mengaitkan sudut pandang orang-orang istimewa, orang-orang kota, dan kaum pinggiran pada masyarakat tradisional.
Perluasan pertanian komersial, terutama gula di Jawa, memerlukan prasarana industri pabrik dan rel kereta yang mendukung bandar utara Jawa seperti Semarang dan Surabaya. Pertumbuhan cepat pusat perniagaan kota ini, bersama dengan jaringan angkutan pedalaman dan sistem pos, mendukung revolusi besar perhubungan abad ke-19: kemunculan koran. Teknologi percetakan pertama datang ke Hindia tahun 1659, namun baru pada abad ke-19 sejumlah besar dicetak dalam bahasa Indonesia oleh markas penginjil Protestan di Straits Settlements (1817), Ambon (1819), dan Batavia (1822). Pembacanya terbatas, dan penguasa Belanda yang menyadari bahaya teknologi tersebut tetap menangani secara bebas sampai tahun 1848. Keadaan berubah pada tahun 1855 dengan peluncuran surat kabar mingguan Jawa di Surakarta. Bromartani, dipimpin oleh orang Indo-Eropa, G.F. Winter, memuat berita keagamaan mengenai kelahiran dan kematian, penjualan dan pelelangan, peristiwa istana, keputusan, dan ketetapan pemerintah, bersama artikel tentang kemajuan pertanian dan kutipan karya sastra.
Tahun berikutnya, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, yang merupakan perintis banyak surat kabar komersial yang berpusat di bandar Jawa Utara selama sisa abad tersebut, diluncurkan di Surabaya. Semula perhatiannya pada iklan, harga pasar terbaru, dan informasi perkapalan. Bintang Timor, yang terbit dua kali seminggu di Surabaya tahun 1861, merupakan surat kabar pertama yang memberitakan persoalan setempat termasuk keadaan sosial dan ekonomi, memuat “berita dari surat” yang berhubungan dengan Eropa dan Cina. Jumlah pembaca surat kabar Melayu dan Jawa ini mencerminkan persebaran keberaksaraan dan pendidikan gaya Barat yang terbatas, sebagian besar masyarakat kota, terutama orang Cina dan priyayi bergaji. Pada dasawarsa pertama, surat kabar dicetak oleh orang Indo-Eropa, dengan orang Cina yang datang menguasai kepemilikan tahun 1880-an, dan kepemilikan pribumi menjadi sangat berarti baru abad ke-20.
Dari semua dampak yang ditimbulkan oleh industrialisasi terhadap bangsa Indonesia pada masa kolonial, ada sisi positif yang dapat kita ambil manfaatnya. Pada masa itu, Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Seperti telah dijelaskan di atas, hadirnya mesin cetak, kapal api, rel kereta, dan telegraf memberi keuntungan terhadap bangsa Indonesia. Dalam bidang
perhubungan, misalnya, hadirnya tenaga uap membuat transportasi darat dan laut lebih cepat dan teratur. Masyarakat Indonesia dapat melakukan perjalanan jarak jauh dengan
ketenangan dan kepercayaan lebih besar. Di bidang lain, hadirnya kapal api maupun kereta api memungkinkan terwujudnya layanan pos umum yang teratur, dan berjalan dengan perangko pos prabayar dan kantor pos di kota besar Jawa tahun 1862. Semua itu merupakan dampak positif dari industrialisasi pada masa kolonial yang dapat kita pelihara dan kita lanjutkan keberlangsungannya.
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.