PROSES MASUK DAN MENYEBARNYA AGAMA
HINDU-BUDDHA DI INDONESIA- Perkembangan Hindu dan Buddha di India
membawa akibat dan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan
internasional, khususnya Asia Selatan dan Tengah (Tibet, Nepal,
Bangladesh, Sri Lanka), Asia Timur (Jepang, Cina, Korea, Taiwan), dan
Asia Tenggara. Indonesia merupakan daerah yang terpengaruh oleh agama
dan budaya Hindu-Buddha.
Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha
terhadap kehidupan masyarakat Indonesia zaman dahulu begitu kental dan
hingga kini masih terasa. Hal ini terlihat dari berbagai macam
peninggalan bersejarah bercorak Hindu-Buddha. Pengaruh Hindu dapat kita
lihat di Bali, di mana sebagian besar masyarakatnya pemeluk Hindu.
Pengaruh Buddha dapat terlihat pada kemegahan Candi Borobudur di Jawa
Tengah.
Pada tulisan ini kalian akan mempelajari
proses masuknya peradaban Hindu dan Buddha ke Indonesia. Kalian akan
melihat pengaruh Hindu-Buddha terhadap kehidupan agama dan kebudayaan
masyarakat Indonesia. Dari sinilah masyarakat Indonesia memasuki babak
sejarah, ditandai dengan pengenalan terhadap sistem tulis. Kalian akan
mengetahui, kebudayaan Hindu-Buddha berpengaruh besar terhadap
perkembangan bahasa, sastra, arsitektur (candi, keraton), serta seni
rupa (relief, patung, makara).
Pengaruh Hindu dan Buddha datang ke
Indonesia hampir berbarengan. Secara garis besar kita dapat melihat
pengaruh tersebut dari berdirinya beberapa kerajaan besar yang pernah
berdiri di Indonesia, dari mulai Kutai yang menguasai sebagian Kalimantan sampai Majapahit
yang mampu menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri.
Kerajaan-kerajaan tersebut telah begitu lama menancapkan taring-taring
kekuasaannya di Indonesia sampai berabad-abad sehingga keberadaan dan
pengaruh agama tersebut kuat dalam kehidupan Indonesia. Pengaruh agama
Hindu-Buddha masih terlihat sampai hari ini dalam kehidupan sebagian
umat Islam di Indonesia dari mulai bahasa, peribadatan, pakaian,
kesenian.
Sebelum bersinggungan dengan
Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia menganut kepercayaan tradisional
berupa penghormatan terhadap roh leluhur dan kekuatan alam semesta dan
bendabenda tertentu (animisme dan dinamisme). Pengaruh Hindu-Buddha
membuat kepercayaan animisme-dinamisme beralih kepada dewa-dewi pengatur
alam. Masyarakat Indonesia mulai menyembah dewa-dewi yang sama dengan
yang di India.
Awalnya, agama Buddha lebih dulu
berkembang di Indonesia. Di Indonesia (juga Thailand, Kamboja, Vietnam,
Myanmar, Laos) aliran Hinayanalah yang berkembang, sedangkan aliran
Mahayana lebih berkembang di Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang.
Perkembangan Buddha awal di Indonesia dibuktikan oleh temuan patung
Buddha dari abad ke-2 M di Sikendeng, Sulawesi Selatan. Contoh lainnya
adalah Kerajaan Sriwijaya yang telah ada pada abad ke-6 M di Sumatera.
Perkembangan Buddha yang pesat di Asia
Tenggara pada awal abad masehi disebabkan oleh faktor-faktor politis.
Ketika itu agama Buddha sedang mencapai masa keemasannya di Asia,
terutama di India dan Cina. Banyak kerajaaan yang menjadikan Buddha
sebagai agama resmi negara, selain Hindu. Namun kemudian, agama Buddha
kehilangan kejayaaan dikarenakan sejumlah kerajaan Buddhis mengalami
keruntuhannya. Sebaliknya, Hindulah yang kemudian menjadi agama resmi
kerajaan-kerajaan yang bersangkutan.
Di Indonesia, kerajaan bercorak Hindu
lebih berkembang daripada yang Buddha. Pada perkembangannya, bahkan
muncul agama “baru” atau agama sinkretis, yakni perpaduan dari Hindu
Siwa dengan Buddha. Agama Siwa-Buddha mulai berkembang pesat pada masa
Singasari di Jawa Timur, masa orang-orang Jawa telah menciptakan karya
seni dan arsitektur di mana unsur Jawa lebih ditonjolkan daripada unsur
India. Disebutkan dalam kitabkitab dan pada bangunan candi-candi bahwa
raja-raja Singasari seperti Kertanegara dan Wisnuwardhana adalah penganut agama baru ini.
Adapun proses dan waktu kapan masuknya
agama Hindu dan Buddha ke Indonesia sampai sekarang masih menjadi
perdebatan di antara para sejarawan. Setidaknya terdapat empat pendapat,
yang masing-masing pendapat sesungguhnya saling menguatkan.
Adapun pendapat-pendapat tentang masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia adalah sebagai berikut:
(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa
yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah orang-orang Hindu berkasta
brahmana. Para brahmana yang datang ke Indonesia merupakan tamu undangan
dari raja-raja penganut agama tradisonal di Indonesia. Ketika tiba di
Indonesia, para brahmana ini akhirnya ikut menyebarkan agama Hindu di
Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini adalah Van Leur.
(2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang
telah berhasil mendatangkan Hindu ke Indonesia adalah kasta waisya,
terutama para pedagang. Para pedagang banyak memiliki relasi yang kuat
dengan para raja yang terdapat di kerajaan Nusantara.
Agar bisnis mereka di Indonesia lancar,
mereka sebagai pedagang asing tentunya harus membuat para penguasa
pribumi senang, dengan cara dihadiahi barang-barang dagangan.
Dengan demikian, para pedagang asing ini
mendapat perlindungan dari raja setempat. Di tengah-tengah kegiatan
perdagangan itulah, para pedagang tersebut menyebarkan budaya dan agama
Hindu ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ilmuwan yang mencetuskan
teori ini adalah N.J. Krom.
(3) Teori Ksatria, mengatakan bahwa
proses kedatangan agama Hindu ke Indonesia dilangsungkan oleh para
ksatria, yakni golongan bangsawan dan prajurit perang. Menurut teori
ini, kedatangan para ksatria ke Indonesia disebabkan oleh persoalan
politik yang terus berlangsung di India sehingga mengakibatkan beberapa
pihak yang kalah dalam peperangan tersebut terdesak, dan para ksatria
yang kalah akhirnya mencari tempat lain sebagai pelarian, salah satunya
ke wilayah Indonesia. Ilmuan yang mengusung teori ini adalah C.C. Berg dan Mookerji.
(4) Teori Arus Balik, mengatakan bahwa
yang telah berperan dalam menyebarkan Hindu di Indonesia adalah orang
Indonesia sendiri. Mereka adalah orang yang pernah berkunjung ke India
untuk mempelajari agama Hindu dan Buddha. Di pengembaraan mereka
mendirikan sebuah organisasi yang sering disebut sanggha.
Setelah kembali di Indonesia, akhirnya mereka menyebarkan kembali ajaran
yang telah mereka dapatkan di India. Pendapat ini dikemukakan oleh F.D.K. Bosch.
Kedatangan brahmana—dari India maupun lokal—dipergunakan pula oleh
sebagian golongan pedagang pribumi atau kepala suku yang ingin kedudukan
dan tingkat sosialnya meningkat. Melalui persetujuan kaum brahmana,
mereka dinobatkan menjadi penguasa secara politis (raja). Para penguasa
baru ini lalu belajar konsep dewa-raja (devaraja) agar
kekuasaannya semakin kuat. Dengan demikian, baik secara ekonomi, sosial,
dan politik, golongan pedagang atau pemimpin suku tersebut menjadi
lebih terhormat karena kekuasaannya pun bertambah luas. Setelah menjadi
raja, mereka mempersenjatai dirinya dengan pengikut-pengikutnya yang
setia untuk dijadikan tentara agar keamanannya terjamin. Dalam
memperluas wilayah pun, mereka lebih leluasa dan percaya diri.
Setelah sebuah kerajaan didirikan, sistem feodal pun berlaku. Feodalisme
adalah “sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar
kepada golongan bangsawan” (KBBI, 2002). Dengan demikian, raja adalah
yang menentukan ke arah mana kerajaan akan bergulir. Praktik feodalisme
ini cukup berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, terutama
di Jawa. Pengkastaan dalam masyarakat membuat hubungan feodalistik
semakin menguat. Feodalisme menjamin stabilitas politik yang dibutuhkan
seorang raja untuk keberlangsungan kerajaannya.
Sistem kasta ini membagi masyarakat dalam beberapa tingkatan sosial, yakni:
(1) Brahmana yang berperan sebagai penasehat raja dan pendidik agama.
(2) Ksatria yang terdiri atas penyelenggara dan penata pemerintahan serta pembela kerajaan (raja, pembantu raja, tentara).
(3) Waisya yang berperan sebagai pedagang, pengrajin, petani, nelayan, dan pelaku seni.
(4) Sudra yang terdiri atas pekerja rendah, buruh, budak, pembantu.
Sementara itu, dalam kerajaan Buddhis
pengkastaan tak terlalu berperan karena ajaran Buddha tidak mengenal
pengkastaan. Dalam hal ini, masyarakat Buddhis lebih demokratis dan
egalitis. Maka dari itu, sistem feodal lebih berkembang di
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu.
Dalam menentukan kebijakan, raja dibantu oleh kaum pandita (pendeta)
dan brahmana sebagai penasehat spiritual dan duniawi. Merekalah
kelompok yang mengetahui isi kitab suci yang ditulis dalam Sansekerta.
Akibatnya, masyarakat awam tak mungkin mengetahui isi kitab suci tanpa
perantara brahmana. Mereka memiliki hak mutlak dalam mengatur sebuah
upacara agama, seperti peringatan hari-hari suci, pengangkatan raja,
peresmian piagam atau prasasti, atau pernikahan golongan bangsawan.
Mereka pula yang merintis pembangunan sekolah-sekolah dan asrama-asrama
dalam masyarakat Buddha. Kedudukan mereka dapat disamakan dengan
kalangan ulama dan cendikiawan zaman sekarang.
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.