PENGERTIAN PEMILU
Dari berbagai sudut pandang, banyak
pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum
merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat
sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan
demokrasi.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:
- Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
- Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
- Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam bab I ketentuan umum
pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: “pemilihan umum adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia
yang berdasarkan pancasila dan undang-undangn 1945. Pemilihan Umum,
selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
PancasiladanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
AsasPemilu: Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
SISTEM PEMILU
Sistem perwakilan distrik (single member constituency)
Sistem distrik
merupakan sistem pemilu yang paling tua dan didasarkan pada persatuan
geografis, dimana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di
parlemen.
Sistem Proporsional
Sistem Proporsional adalah seluruh
wilayah merupakan satu kesatuan. Jadi seperti partai kecil yang memiliki
suara di Papua, Kalimantan, dan lain-lain, bisa dijumlahkan, sehingga
Sistem Proporsional memungkinkan partai-partai kecil berkiprah di
parlemen. Jika mereka kalah di wilayah pemilihan tertentu, partai-partai
kecil tidak otomatis gugur, karena masih ada akumulasi suara sisa yang
memungkinkan mereka memperoleh kursi di DPR.
Sistem gabungan
Sistem Gabungan merupakan sistem yang menggabungkan sistem distrik dengan proporsional
PEMILU ORDE LAMA
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia
menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai
politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal
16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa
jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan
penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun
1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10
partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI
MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus
1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari
29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa
konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat
terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan
parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
“Deklarasi Bogor.”
Tokoh partai PNI
- Dr. Tjipto Mangunkusumo
- Mr. Sartono
- Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
- Mr Sunaryo
- Soekarno
- Moh. Hatta
- Gatot Mangkuprojo
- Soepriadinata
- Maskun Sumadiredja
- Amir Sjarifuddin
- Wilopo
- Ali Sastroamidjojo
- Djuanda Kartawidjaja
- Mohammad Isnaeni
- Supeni
- Sanusi Hardjadinata
- Sukmawati Soekarno
- Agus Supartono Supeni
Tokoh Partai Masyumi
- KH Hasyim Asy’arie
- KH Wahid Hasjim,
- Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),
- Muhammad Natsir,
- Syafrudin Prawiranegara,
- Mr. Mohammad Roem,
- KH. Dr. Isa Anshari,
- Kasman Singodimedjo,
- Dr. Anwar Harjono,
Tokoh Partai NU
- Syeikh Nawawi al-Bantani
- Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
- Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi
- Syeikh Ahmad Khatib Sambas
- Syeikhona Kholil Bangkalan
- Kyai Abdullah Termas
- KH. Hasyim As’ari
- KH. Wahab Hasbullah
- KH. Bisri Syamsuri
- . KH. Wahid Hasyim
- KH. Ahmad Siddiq
- . KH. As’ad Syamsul Arifin
- KH Saifuddin Zuhri
- KH. Maksum Ali
- KH. Zainul Arifin
- KH TURAICHAN KUDUS
- KH Agus Maksum Jauhari
- KH. Bisri Mustafa
- KH. Asnawi Kudus
- KH. Abbas Djamil Buntet
Tokoh partai PKI
- Mr. Amir Syarifuddin
- Maruto Darusma
- Tan Ling Djie
- Abdulmajid
- Muso
- Setiadjit
Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955
menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam
percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat,
dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah
pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Berikut hasil Pemilu 1955:
- Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)
- Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)
- Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)
- Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara (16%)
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
- perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
- sukses transmigrasi
- sukses KB
- sukses memerangi buta huruf
- sukses swasembada pangan
- pengangguran minimum
- sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- sukses Gerakan Wajib Belajar
- sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
- semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
- penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus)
- tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan
pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa
Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde
Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Pemilu di Masa Reformasi
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah
membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik,
ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi
menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus
dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat.
Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan
pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir
sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan
keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara
siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan
perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling
reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN,
mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu
1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999
sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era
reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta
adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator
siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang
berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau
menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan
ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua
dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih
presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali
suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan
yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang
melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat
(Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais
dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan
pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.