1. Berita Luar Negeri
Kronik-kronik Tiongkok pada masa Dinasti
Han, Dinasti Sung, Dinasti Yuan dan Dinasti Ming menyebutkan bahwa
sejak awal Masehi telah terjadi hubungan dagang antara Cina dan
Indonesia. Salah satu buktinya adalah ditemukannya artefak-artefak
berupa keramik Cina di Indonesia. Fa-Hien, seorang rahib Buddha dari Cina yang terdampar di To lo mo (maksudnya
Kerajaan Taruma atau Tarumanegara di Jawa Barat) selama 5 bulan, dalam
perjalanannya dari India ke Cina, menulis apa-apa yang dilihatnya.
Fa-Hien terkesan dengan keterampilan para pedagang di To lo mo dalam menawarkan dagangannya, terutama beras dan kayu jati. Sementara itu, I-Tsing,
peziarah dan rahib Buddha yang juga dari Cina, menuliskan kesan tentang
Sriwijaya sebagai salah satu pusat Buddhisme di Asia, abad ke-7 M yang
dapat disejajarkan dengan India dan Cina. Di Sriwijaya itulah para calon
rahib dan rahib Cina maupun pribumi, belajar bahasa Sansekerta dan Pali
sebelum berangkat ke India.
Seorang ahli geografi Yunani, Claudius Ptolomeus,
memberitakan bahwa kapal-kapal dari Aleksandria di Laut Mediterania
(Mesir) berlayar melalui Teluk Persia ke bandar-bandar Baybaza di
Cambay, India dan Majuri di Kochin, India Selatan. Dari daerah ini
kapal-kapal melanjutkan pelayaran mereka ke bandar-bandar di pantai
timur India sampai ke kepulauan Aurea Chersonnesus. Di kepulauan itu, kapal-kapal singgah di Barousae, Sinda, Sabadiba, dan Iabadium. Aurea Chersonnesus merupakan pengucapan Yunani untuk Kepulauan Indonesia, sedangkan Barousae adalah Baros, sebuah bandar dagang kuno di pantai barat Sumatera. Sementara itu, Sinda adalah ejaan lain untuk Sunda, Sabadiba adalah Svarnadwipa (Sumatera), dan Iabadium adalah Javadwipa (Jawa).
Indonesia juga disebutkan dalam petunjuk pelayaran laut dari Yunani (Erythraea) bersama 27 mancanegara lainnya. Kitab Ramayana karya Valmiki dari India abad ke-3 SM juga secara tidak langsung menyebutkan tentang Indonesia.
Diceritakan bahwa setelah Sita (Dewi
Sinta) diculik oleh Ravana (Rahwana) Raja Lanka (Alengka), Hanuman
(Hanoman) atas perintah Rama mencari Sita hingga ke Javadwipa. Meski bukan kejadian nyata, Ramayana telah
menginformasikan bahwa penulisnya setidaknya telah mengenal nama Jawa
(terlepas dari apa ia pernah pergi sendiri ke Jawa atau hanya mengenal
namanya dari pelaut India yang pernah pergi ke Jawa). Yang jelas, dari
kitab tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Pulau Jawa merupakan tempat
strategis dalam dunia perdagangan pada masanya.
Di samping Ramayana, Piagam Nalanda
(berasal dari Benggala, India sebelah timur) menyebutkan bahwa
Sriwijaya memiliki dua pelabuhan penting di Selat Malaka sebagai pintu
gerbang memasuki bandar-bandar lain di Indonesia. Kedua bandar itu
berada di Sumatera dan Semenanjung Malaka, yakni bandar Katana di Ligor,
dan berperan sebagai bandar transit. Kedua bandar itu merupakan pusat
perdagangan tambang, emas, timah, hasil hutan, dan perkebunan lada, kayu
gaharu, dan kelembak.
Para saudagar dan ahli geografi Arab
juga telah menulis tentang keberadan Indonesia sejak abad ke-6 M. Mereka
menyebut kerajaan bernama Zabaq atau Sribuza untuk Sriwijaya. Raihan Al Beruni,
yang menulis sebuah buku tentang India, menyebutkan bahwa Zabaq
terletak di sebuah pulau yang bernama Suwarndib, yang berarti “Pulau
Emas“. Berita Arab lainnya menyebut Sribuza sebagai tempat yang banyak menghasilkan kayu wangi.
Kronik-kronik dari Indocina juga
menunjukkan bahwa jalur perdagangan antara Indonesia, India, Cina, dan
juga Indocina (Vietnam, Kamboja, Siam atau Thailand, dan wilayah Asia
Tenggara lainnya) telah ramai sejak awal masehi. Hubungan perdagangan
tersebut menjadi perintis hubungan yang lebih jauh: politik, agama, dan
kebudayaan. Kronik Vietnam dari abad ke-8 M mencatat serangan dari Jawa
dan “Pulau-pulau Selatan“ yang dilakukan pasukan Syailendra dari
Sriwijaya terhadap pusat kerajaan maritim Kerajaan Chenla di
Vyadhapura, Kamboja. Berita tersebut diperkuat oleh catatan dari Champa
pada abad ke-8 M, yang mencatat bahwa pasukan Jawa telah menghancurkan
kuil-kuil dan berkuasa di sebagian wilayah Kampuchea (Kamboja).
Bukti lainnya adalah prasasti di Nakhon
Si Thammarat, Thailand, dari abad ke-8 M. Prasasti itu mengumumkan telah
dibangunnya sejumlah biara Buddha oleh raja Sriwijaya. Laporan serupa
terdapat dalam sebuah prasasti di Kra, sebelah selatan Thailand, dari
abad ke-8 M. Prasasti itu melaporkan Raja Sriwijaya mendirikan sejumlah
bangunan suci Buddha dalam rangka merayakan kemenangan Sriwijaya
menaklukkan Semenanjung Melayu.
2. Sumber Dalam Negeri
Sementara itu, berita-berita dalam
negeri berasal dari prasasti (batu tulis) dan yupa. Yupa-yupa yang
ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, prasasti-prasasti Tarumanagara di
Jawa Barat, Prasasti Canggal zaman Mataram Kuno di Jawa Tengah dan
Prasasti Dinoyo di Jawa Timur, ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf
Pallawa. Selain itu, bangunan-bangunan benda-benda purbakala, seperti
candi, arca, serta sistem tulisan dalam kitab-kitab kakawin juga
memperlihatkan pengaruh Hindu-Buddha.
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.